Assalamu'alaikum...,  Ahlan Wasahlan |  sign in  |  

Ahlan...

Sebuah blog untuk mengekspresikan diri. Manampung tetes pikiran yang jatuh. Sebuah parit kata, yang merayap dari celah jiwa. Sebuah bejana penyambut derai-derai inspirasi. Di sini dicoba untuk dieja. Kali saja menjadi huruf yang bisa dibaca. Menjelma alenia, membentuk cerita. Kalaupun berupa coretan tak berbentuk, mohon seka raut yang berluluk. Biar cerah. Dan jahitkan saku yang masih melambai. Karena aku sosok yang tak luput dari alpa. Thank's!


Tarawih Perdana

Written By rumah karya on Sabtu, 21 Juli 2012 | 04.56.00

Seperti Ramadan sebelumnya, hilal masih diterawang. Hisab masih dihitung. Belum ada ketentuan kapan dimulainya puasa. Melihat belum adanya keputusan. Aku dan teman-teman masih menyempatkan diri untuk bermain bola kaki. Main terakhir. Karena setelah ini tidak bisa lagi.
Panas yang membakar membuat keringat berceceran. Tahulah, musim panas, tidak bergerak saja sudah berpeluh. Apalagi berlari ke sana-kemari. Beuh! Bak air mancur bercucur. Tenaga-tenaga tumpah tak menyisa. Lemas pas balik ke rumah. Bawaannya pengen tidur segera.

Bola kaki merupakan olahraga favorit mahasiswa Indonesia di Mesir ini. Tepatnya futsal, karena memang lapangannya bisa dijangkau. Sedangkan lapangan gede, mahal. Dan butuh banyak personil. Untuk menyewa lapangan, tak ada yang sayang mengorek saku. Makanya terkadang sampai tiga kali seminggu plus dengan kegiatan organisasi. Sewanya hanya dua puluh pound Mesir -untuk kelas ekonomi-, pasca Ashar sampai sebelum Maghrib. Ini merupakan olahraga yang rutin dilakukan. Bagus untuk kesehatan jasmani. Tak hanya urat-urat kepala saja yang bergerak. Badanpun butuh olahraga.

Olahraga ini fakum ketika Ramadan sudah di gerbang. Semua menunduk. Dan masuk rumah tanpa bertanya. Banyak ibadah pada malamnya, Qiyamullail misalkan. Dan tak bisa dilakukan dengan fisik yang lunglai. Harus prima. Kalau dipaksakan juga main sorenya, selamat tinggal. Terkapar tak berdaya di pembaringan. Makanya tidak ada kegiatan bola.

Untuk menghilangkan penasaran kapan dimulainya puasa, kucoba cek situs berita Mesir, shourukhdotcom. Kujelajahi setiap link beritanya. Tak berapa lama kemudian aku berhasil menemukan sebuah link tentang penentuan puasa. Lengkap dengan sebuah foto yang tidak asing olehku, Dr. Ali Jum’ah, Mufti Mesir. Beliau menerangkan bahwa puasa jatuh pada hari jum’at. Dan hari kamis ini merupakan akhir bulan Sya’ban. “Waduh…”. Kalau puasa hari jum’at, berarti nanti malam tarawih, dong?

Aku tak yakin dengan badan yang pegal-pegal bisa khusu’ dan maksimal salatnya. Banyak sedikitnya memberikan pengaruh pada ibadahku tentunya. Bila kepastiannya awal, mungkin aku bisa mengurungkan niat untuk tidak ikut main futsal sore ini. Hmmm…

Ketika azan Isya berkumandang, aku bersegera ke masjid Al Barakah, ada yang berbeda kulihat pada masjid Al Barakah malam ini. Lebih terang. Pintu kecil yang biasa tertutup, kini terbuka. Pada shaf awal, permadani terbentang. Tidak seperti biasa yang hanya menggunakan karpet. “Tampaknya memang benar kalau besok jum’at awal puasa.” Semakin kuat yakinku. Dan satu lagi yang berbeda malam ini adalah jamaahnya yang ramai. Tak seperti salat Isya biasa. Setelah salat isya, biasanya satu persatu jamaah meninggalkan masjid, kali ini tidak. Semua berdiam. Beberapa jenak kamudian imam berdiri diikuti oleh makmum. “Besok memang benar-benar dimulai puasa,” Desisku.

Pada tarawih pertama ini aku berharap imamnya tidak panjang-panjang membaca ayat. Kondisi badan yang tidak fit, tidak memungkinkan untuk bisa berlama-lama berdiri. Pegal kakiku masih terasa. Atsar main futsal masih melekat. Ditambah aku belum mandi disebabkan air yang mati. Dan simpanan habis. Hmmm… sayang, harapan itu rada bertolak. Imam yang kuharapkan segera ruku’, tak kunjung mengganti posisi. Sebenarnya tidak terlalu panjang ayat yang dibaca karena tidak sampai satu rubu’. Tidak seperti di masjid Al Bukhari atau masjid At Tauhid yang setiap rakaatnya satu rubu’. Dan pada rakaat kedelapan, kelar satu juz. Seperti itu setiap malam. Sehingga ketika akhir Ramadan, selesai 30 juz. Untuk salat di masjid ini, harus dipersiapkan fisik, agar tidak ambruk.

Dengan kesabaran, akhirnya aku bisa menyelesaikan salat tarawih perdana. Walau tidak terlalu maksimal, setidaknya aku bisa melakukannya sampai selesai. Alhamdulillah!
04.56.00 | 3 komentar

Tentang Ayah

Written By rumah karya on Senin, 07 Mei 2012 | 14.09.00

Mataku memang menyapu jalanan yang remang
Tapi tidak dengan pikiran
ia bergentayang
menggerayang ingatanku yang mulai usang
memutar slide show sosok Ayah
Sosok yang berpagi dan pulang petang
larut malam terkadang

Inikah rasa yang menderanya saban hari ?
Oh, tidak!
Lebih malah
Karena rasa ini masih bisa aku tapaki.

Yang kucoba ini hanyalah percikan kerjanya
Tidak berarti apa-apa.

Jalanan yang dia tempuh tidak lagi remang
Betul-betul pekat
Gelap!
Sepi dan mencekam
dikelilingi kebun-kebun dan hutan

Motor bututlah temannya membelah malam
dengan gerobok di belakang
Sukur ketika cuaca tenang
Kalau hujan?
Aku tak bisa membayangkan
bagaimana hendak tanjakan licin itu didaki
Atau, ketika bannya bocor
dan minyak habis di tengah jalan
Aih, betapa repotnya beliau.

Jarak yang ditempuh tidaklah dekat
jauh dari lalu lalang orang
Tentu beliau harus menuntun dengan sisa-sisa tenaga
Menaklukkan bukit-bukit yang tegak perkasa.
Atau tidur dipinggir jenggala

Sesampai di rumah
tak terlihat rautnya yang lelah
Mungkin sengaja disembunyikan dari anak-anaknya

Ketika ayah pulang dengan sisa dagang
Beliau tak mengeluh sepinya pembeli
Mungkin itulah rezeki hari ini
Ayah berhusnuzzan
Sabar ketika sepi
Dan bersukur ketika habis

Semangat tak mengenal lelah terus terpancang
Tak roboh oleh angin-angin letih
Kurasa rasa lelah, bosan, untuk merayu
agar jangan bersusah-susah

Itulah sosok ayah
Matanya penuh dengan cahaya
Tak melenguh pada derita.

Walau tak mendapat tumpahan penat kerjanya
Minimal percikan lelahnya dapat kurasa
Begini rupanya.

Karena tak pernah meneguk lelahnya
kita acap alpa

Mungkin itu mengapa aku mencoba mendayung sepeda
dari satu rumah ke rumah
hanya untuk merasakan percikan kerjanya.
Upah bukanlah titik utama
Karena banyak titik lain lebih berharga

Itulah sosok ayah
Tak terdeskripsi dengan susunan kata-kata

Udo Iwan
Zagazig, 16 Maret 2012
10.59 WZ
Untuk membuat ingat, ada banyak hal yang bisa kita lakukan
14.09.00 | 2 komentar

Pituah Amak

Written By rumah karya on Senin, 26 Maret 2012 | 21.37.00

Kau adalah bara yang membakar semangat kerja
Kecukupanmu adalah embun yang menghilangkan dahaga
Cintaku padamu
telah membius rasa letih yang mencabik-cabik raga
Tak peduli titis hujan
Tak peduli panas sang surya
Atau larut malam yang menggoda
untuk memejamkan mata
Aku tak hiraukan itu semua

Kau adalah penghangat dalam dinginku
Penghibur kala dukaku
Cita-citamu adalah harapanku
harapan yang dulu dihempas kemiskinan
Aku tak rela anakkupun tenggelam karsanya

Aku berharap tak hanya nama pahlawan yang berdenyar
karena jasa yang mereka ukir
Atau nama ulama yang menggaung
karena karya yang mereka toreh
Tapi juga namamu
karena jasa yang kau pahat
karena karya yang kau buat

Asamu adalah cambukku untuk giat
Rantaumu adalah jendela pikiranku
yang membuka ragam jalan
terkadang tak tertempuh orang
Inilah karunia Tuhan

Anakku!
Kampung kita butuh pendidik
Aku berharap kau menjadi guru bagi kami
Membuka selimut bodoh yang melingkupi
Tak hanya kampung, mungkin dunia

Harapan Itu adalah motor penggerak
kaki kami menjeput setiap rezeki
yang menggeletak disudut bumi
Kami kerahkan seluruh tenaga untuk berusaha
Tak ingin kau kekurangan di negeri orang sana

Anakku!
Orang tuamu bukanlah pengusaha bertabur harta
Atau pejabat bergaji jutaan rupiah
Hanya pekerja keras yang mengandalkan tenaga
Tak lebih!

Alhamdulillah!
Sampai saat ini kebutuhanmu tetap terjaga
Entah masih bisa setamat kau kuliah
karena usia terus bertambah
Mengingat adikmu akan tamat sekolah

Anakku!
Tak bisa kugambarkan haru hati
melihat kau menaiki pesawat untuk kali pertama
Hanya buliran bening disudut mata yang berbicara
Kapan kita bersua lagi?
Kapan kami bisa naik pesawat sepertimu?
Melihat dunia dari angkasa?
Atau merasakan suasana di udara?
Ah, itu tidak penting
yang jelas kau sudah buat kami bahagia.

Menyekolahkanmu ke luar negeri
ada kebanggaan tersendiri bagi orang seperti kami
karena semua lahir dari keringat yang mengalir
Kelukur-kelukur di badan tak lagi terasa
Rasa letih tak lagi ada
Sirna semua

Tubuh yang makin ringkih
Garit urat yang menyembul
Keriput kulit membungkus tulang
tak lagi jadi perhatian
Karena semua perhatian hanya tertumpu padamu

Terkadang ketika telat mengirimmu uang
Aku meneteskan air mata
apakah kau makan seperti kami di sana?
Dapat tidur nyenyak?
Apakah sewa rumahmu tidak menunggak?
Tak kuasa aku menyuap nasi di tangan
Berat!

Tanpa segan,
aku akan menyatroni rumah-rumah tetangga mencari pinjaman
Terkadang ada, terkadang juga susah
Karena kebutuhan yang berbeda-beda

Rasa gundah terus mendekap
Mata manegantuk tak terkejap
Mengingat pinjaman yang tak dapat-dapat
Sangat menjadi bahan pemikiran

Terkadang ibu ditegur ayah
untuk jangan menyebut-nyebut jerih payah
karena itu adalah kewajiban orang tua, katanya
Ibu sependapat dengannya
tidak sedikitpun membantah
Ibu bercerita hanya sebagai bara
biar semangatmu terus menyala
Sebagai angin
biar semangatmu terus berkibar

Sebagaimana kau tahu
Ibu bukanlah penyair
yang dapat meramu kata menjadi indah
Pakar sejarah
yang dapat menceritakan berbagai peristiwa
Atau ahli agama
yang dapat mengajarkan ragam hikmah

Melalui curhatanlah aku ingin membuka matamu
agar jangan pernah terpejam
Mengingatkanmu agar jangan pernah alpa
Melalui inilah ibu bisa menyusun kata

Anakku!
Kini kau telah dewasa
Sudah saatnya menentukan alur cerita
Apakah ber-ending nestapa
Atau bahagia
Semua tergantung bagaimana kau melangkah

Inilah pituahku yang harus kau jaga
Jangan pernah lupa!
Tak semua orang memiliki keberuntungan sepertimu.


Udo Iwan
Zagazig, 5 Maret 2012. 15:33
Pesan Amak yang kuabadikan dalam sajak. Sebagai stimulan. Cambuk. Biar selalu terkenang bagaimana mereka lelah berjuang. Ummi wa abi, Uhibbukum fillah.
21.37.00 | 2 komentar

Debur Tafakur

Written By rumah karya on Kamis, 01 Maret 2012 | 10.00.00

Gelap masih merayap
merangkul praja berhalimun lesi
Di tepian malam pagi mulai mengendap-endap
Mengintip tiap ingatan yang masih lelap
dibuai mimpi-mimpi

Kokok ayam bersahut
semilir angin di tengah lelah jiwa
Sekedar pendekorasi
Tak mampu membuka kelopak
yang tertaut mati

Shubuh belumlah membentang
Membuat buai tidur semakin panjang
Kemul selimut semakit kuat dipasang
Tak lelah mengikuti jejak bayang-bayang
Dan alpa dari ijabah doa
pada sujud panjang

Sukar memang
Itulah perang
Itulah menang
Itulah sayang
sayang terbuang

Hanya semiang yang bangkit
Pada hati tak berpenyakit
Lebur bersama debur tafakur
Menyelami makna-makna ayat yang tak terukur

Satu dari sekian ribu
Dua dari sekian juta
Segelintir yang mengejawantah


Zagazig, 23 Februari 2012 17.06
Udo Iwan
10.00.00 | 0 komentar

Share photos on twitter with Twitpic

Bersama ikhwah memenuhi undangan orang Mesir

Orang kaya sedang beerfose. (Hihihi... gak malu)

Menggaya saja, biar dibilang keren. Hahaha...

Makan sate bareng konco-konco. Walau mahasiswa, kita gak kalah saing ya sama emak-emak. Hahaha... kita..?? Lu aja kali...!@#$%
Share photos on twitter with Twitpic

Jelajahi

Share photos on twitter with Twitpic

Tentang Seseorang

Foto saya
Seorang sosok yang ingin di atas biasa orang. Tapi seringkali tertinggal oleh kereta yang merangkak. Sering tenggelam oleh gerimis penggal malam. Dan selalu tegak, namun tak kalah cepat dari keong. Tetap optimis, karena gerimis sepenggal malam takkan menenggelamkan gunung menjulang.

Arsipan

Total Tayangan Halaman

free counters

Makan sate bareng di hari lebaran